TNI-POLRI

Santri, Mahasiswa, dan Negara yang Belum Berdikari

SURABAYA — Ada yang terasa janggal setiap kali bangsa ini memperingati Hari Santri Nasional. Bendera dikibarkan, orasi digelar, namun di tengah gegap gempita seremoni itu, seolah tak ada yang benar-benar bertanya: setelah ini, apa yang berubah?

Jawa Timur yang dikenal sebagai rumah bagi ribuan pesantren seharusnya menjadi episentrum lahirnya gagasan keislaman yang membumi sekaligus kebangsaan yang berpijak. Namun realitasnya, banyak santri masih didefinisikan sebatas “penjaga moral” tanpa ruang aktualisasi yang luas di ranah sosial, ekonomi, dan politik.

Di sisi lain, mahasiswa yang mengaku intelektual sering kali kehilangan kedekatan spiritual dan kearifan moral yang seharusnya menjadi fondasi perjuangan mereka. Padahal, kolaborasi antara santri dan mahasiswa merupakan formula ideal bagi masa depan bangsa.

BACA JUGA :  Serma Budi dan Tim IPB Bogor: Menjaga Keanekaragaman Hayati Melalui Penanaman Bibit Aren

Santri berperan membentuk kepribadian spiritual, sedangkan mahasiswa menyalakan api intelektualitas dan gerakan sosial. Bila dua kekuatan ini bersatu, lahirlah manusia yang tidak hanya pandai berpikir, tetapi juga benar dalam bersikap.

Sayangnya, hubungan itu belum sepenuhnya terbangun. Banyak pesantren masih tertinggal dalam adaptasi digital, sementara organisasi mahasiswa kerap kehilangan akarnya di masyarakat. “Ini seperti dua pasukan kuat yang berperang di medan berbeda, padahal musuhnya sama — kebodohan, kemiskinan, dan ketimpangan,” tulis Yusfan.

Ia menegaskan, Hari Santri Nasional seharusnya tidak sekadar menjadi hari libur dalam kalender. Lebih dari itu, menjadi alarm kesadaran bahwa nilai keagamaan dan kebangsaan tidak boleh dipisahkan.

BACA JUGA :  Polres Sampang Gerebek Judi Sabung Ayam Di Desa Sokobanah Daya Kecamatan Sokobanah

Pesantren, lanjutnya, tidak bisa hanya menjadi menara doa, tetapi juga menara pengetahuan, teknologi, dan ekonomi. Santri harus berani hadir di ruang publik: menjadi penggerak UMKM, pionir literasi digital, hingga pengawal isu lingkungan dan ekonomi hijau.

Sementara itu, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan organisasi sejenis mesti membuka ruang kolaborasi dengan pesantren, membangun ekosistem yang melahirkan generasi berilmu sekaligus beradab.

“Kita hidup di era perang wacana dan data. Karena itu, literasi digital, ekonomi kreatif, dan advokasi sosial harus menjadi bekal utama santri dan mahasiswa. Kalau tidak, kita hanya akan menjadi penonton dalam panggung besar perubahan global,” ujarnya.

BACA JUGA :  Tingkatkan Disiplin dan Soliditas, Dandim Sampang Pimpin Upacara Bendera

Menurut Yusfan, Hari Santri Nasional 2025 harus menjadi momentum bagi dua kekuatan moral bangsa ini untuk bergandengan tangan, memperkuat diri, dan membangun peradaban yang lebih adil.

“Santri dan mahasiswa bukan hanya penjaga nilai, tapi juga arsitek masa depan bangsa. Dari titik itulah Indonesia bisa kembali belajar bahwa ilmu dan iman tak boleh berjalan sendiri,” pungkasnya.

Selamat Hari Santri Nasional 2025 — Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia.

(Az)

Berita terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button